Filsafat dan Arkeologi (part 1)

*Sebuah Pengantar*
“Filsafat adalah pengetahuan yg berminat mencapai pengetahuan kebenaran yg asli.”
Plato
 
Filsafat pada dasarnya menciptakan pemikiran-pemikiran yang berkembang dan lain satu sama lain, tetapi pertentangan filsafat bisa saja menghasilkan kebenaran yang sama (kesimpulan) walaupun hal tersebut bisa terbantahkan dan bersifat sementara. Pemikiran filsafat, seyogyanya mempertimbangkan lingkungan sekitarnya atau bentuk-bentuk zaman yang terus maju seiring arus pengetahuan yang makin deras. Berpikir filsafat memberikan ruang agar berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan, karena sungguh tidak bijak jika segala sesuatu yang akan terjadi tidak melalui tahap pemahaman dan berpikir.
Socrates (469-399 SM), seorang filsuf dari Yunani yang mencoba ‘membelokkan’ paham-paham terdahulu yang selalu melibatkan kosmologi tanpa melibatkan ‘sesuatu’ yang memikirkan kosmologi tersebut. Masa-masa sebelum Socrates biasa disebut dengan masa pra-Socrates atau Filsafat Alam. Dia mulai mempertanyakan hal-hal dasar mengenai jati diri dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis, seperti “Siapakah aku?” dan hal tersebut menjadi momok bagi penganut paham-paham terdahulu. Anak-anak muda di Athena pada saat itu mulai berguru pada Socrates yang pemikirannya sedikit berbeda dengan orang-orang kebanyakan. Socrates mulai dianggap merusak pemikiran anak-anak muda sehingga ia pun diberikan hukuman mati. Sebelum Socrates dieksekusi, sangat banyak teman-teman yang juga murid-muridnya menawarkan kebebasan untuknya dengan memanfaatkan jabatan dan juga kekayaan material mereka, namun Socrates menolak semua itu. Dia beranggapan bahwa jika ia menyerah pada sesuatu yang mengekang kebebasan akalinya, sama saja dengan dia ‘membunuh’ dirinya sendiri. Ia akhirnya memutuskan membunuh ‘fisik’-nya dengan harapan bahwa ‘ide’-nya tetap hidup. Ia yakin bahwa pemikiran-pemikirannya akan terus berkembang dan tidak stagnan seperti paham-paham sebelumnya.
Setiap persoalan mengenai pemikiran filsafat haruslah mendapat kritikan karena seorang filsuf tidak hanya menggunakan akal, kehendak, dan perasaannya, tapi juga harus mampu berpikir secara ‘luas’. Pengetahuan yang berasal dari luar dan dalam haruslah mempertimbangkan dan menyeimbangkan unsur empiris dan unsur rasional. Sebuah pernyataan (tesa) haruslah bisa dikritik dengan pernyataan lain (antitesa) sehingga menghasilkan kebenaran (sintesa) walaupun sifatnya bersifat sementara karena pada dasarnya kebenaran tersebut merupakan sebuah penyataan yang bisa saja terbantahkan seiring berkembangnya zaman. Hal semacam ini biasanya disebut dengan Alur Dialektika (Dialektis).
https://kaisarfibuh.wordpress.com/wp-content/uploads/2014/05/53807-alurdialektika.png
 
Unsur Filsafat
Adapun tiga unsur filsafat yang terdapat dalam diri seorang manusia. Pertama, berpikir di luar diri, yaitu melihat segala sesuatu tindakan-tindakan dari alam yang ada di luar diri manusia. Kedua, berpikir di dalam diri, yaitu melihat tindakan diri sendiri dan diproses melalui proses berimajinasi. Ketiga, perbuatan berpikir, yaitu hasil dari proses tindakan berpikir, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam.
Merujuk dari alur dialektika, ada yang disebut dengan hakekat. Hakekat adalah sebuah kebenaran dari hasil penciptaan. Hakekat ditentukan oleh orang yang menciptakan sebuah benda karena hakekat terkait dengan fungsi benda tersebut. Ukuran kebenaran segala sesuatu ditentukan oleh hakekatnya. Mencapai kebenaran yang dimaksud tersebut haruslah melalui tahapan-tahapan penjelasan menuju kebenaran atau biasa disebut dengan kaidah berpikir.
Kebenaran dan Kebebasan Kehendak
Kebenaran dihasilkan melalui proses pencarian kenyataan dan kebebasan kehendak dikekang oleh kebajikan. Kebebasan kehendak termasuk menentukan ‘kebenaran’ bagi dirinya sendiri. Tetapi, kebenaran-kebenaran yang bersifat subyektif tersebut seringkali keluar dari batas-batas norma-norma sosial, sehingga kemerdekaan kehendak terkekang oleh lingkungan sosial, manusia dapat dikatakan memiliki kemerdekaan yang dikondisikan.
Kebenaran harus berawal dari kenyataan atau fakta yang dilihat dan dirasakan oleh indera. Contoh kasus, ketika seseorang tersebut membunuh. Membunuh merupakan suatu kebenaran baginya dan sebuah kenyataan dari kebebasan kehendaknya itu. Hal itu mungkin memang sangat benar menurutnya, tetapi sangat merugikan bagi orang lain. Maka dari itu, lahirlah yang dinamakan dengan kebajikan atas kebebasan seseorang untuk memecahkan masalah-masalah ‘kebenaran subyektif’ tersebut. Sebenarnya, kebebasan itu sudah memiliki ukuran-ukuran tersendiri, baik dibatasi oleh alam maupun sistem negara dimana mereka tinggal. Jadi, kebebasan atau kemerdekaan itu telah dibatasi sejak mereka dilahirkan ke dunia ini. Sebelum mencari keadilan yang didasarkan pada kebajikan, seorang filsuf harus tahu hakekat dari suatu keadilan tersebut. Misalnya, memberikan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawabannya disimpulkan menjadi suatu kebenaran.
Tidak boleh tercipta dua kebenaran dalam sebuah pertentangan. Misalnya, suatu tempat tidaklah mungkin jika dalam waktu bersamaan diguyur hujan dan tidak diguyur hujan. Namun, kebenaran tersebut bergantung dari setiap ukuran kebenaran tersebut. Suatu pemikiran filsafat tidaklah bisa disingkat, melainkan harus melalui proses yang berkepanjangan. Jadi, sebuah kebenaran harus memiliki hubungan yang sama dan hubungan logis, seperti contoh kasus hujan di atas.
Bersambung…

2 Comments Add yours

  1. Tia Kayla Azzahra says:

    Pembelajaran sejarah sangat perlu di pelajari oleh pelajar agar bisa menghargai dan melestarikan peninggalan peninggalan agar dapat diketahui asal usul sebuah tempat ataupun benda yang kita sebelumya tidak diketahui.

    Like

  2. Nindi nur m says:

    Kebenaran akan terungkap jika adanya keadilan, jadi kebenaran dan keadilan adalah satu paket yang berpengaruh dalam suatu masalah. Terutama untuk anak remaja banyak yang gegabah tanpa tau apa penyebab dan akibat tanpa melihat secara subjektif dan objektif

    Like

Leave a comment